air sejuk spiritualitas santo vinsensius

Santo Vinsensius dan Doa

Oleh: Ignatius M. Melito, CM*

Tradisi telah memberi gambaran tentang Santo Vinsensius sebagai “manusia aktif”. Secara umum dia dikenal sebagai seorang kudus bagi mereka yang menderita dan membutuhkan, orang-orang miskin, sakit, terlantar, korban perang dan kelaparan, pengemis, para budak serta sejumlah orang tertindas lainnya.

Dengan rendah hati St. Vinsensius meyakini bahwa segala usaha untuk menuaikan karya-karya serikatnya itu bersumber pada doa. Doa merupakan suatu sumber yang melampaui segala kemampuan manajerial maupun usaha efisiensi semata. “Berilah aku manusia pendoa dan ia akan mampu melakukan segalanya,” katanya. Kata-kata ini ia nyatakan setelah memperoleh inspirasi dari St. Paulus, “segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13).

Selanjutnya St. Vinsensius merumuskan dua unsur kegiatan kerasulan, yakni doa dan perbuatan. Unsur-unsur ini dipandangnya sebagai suatu konsep terpenting. Doa dimaksudkan bukan hanya untuk menyertai karya pelayanan sekaligus doa itu sendirilah inti pelayanan. Kita lihat di sini kata doa menjadi kata kunci. Karya kerasulan dapat dilakukan dalam aneka ragam bentuk (“segalanya”) menurut peraturan dan gayanya. Tetapi, apa pun bentuk karya pelayanan itu, doa harus selalu menjiwai.

Pengalaman-pengalaman St. Vinsensius membuat gagasan ini mendominasi pemikirannya tentang karya kerasualn aktif; lebih-lebih karena ia menjadi pendiri dan pembimbing dua Serikatnya, CM dan PK, serta Perkumpulan Cinta Kasih. Kedua serikat itu membaktikan diri demi karya pelayanan aktif: Pertama, para romo mewartakan Injil kepada orang-orang desa melalui misi dan pembinaan imam; dan kedua, para suster malayani Kristus “secara jasmani dan rohani dalam diri kaum miskin”. Santo Vinsensius benar-benar yakin akan kepentingan doa, sehingga ia mengatakan bahwa Kongregasi Misi – dan secara implisit serikat-serikatnya yang lain – akan memiliki kelangsungan hidup bila ia setia berdoa.[1]

Dalam pembicaraan ini, St. Vinsensius tampil sebagai panasihat putera dan puterinya. Mereka memandang kata-kata Vinsensius sebagai warisan, selain sebagai pedoman dinamis dan aktual untuk melaksanakan karya kerasulan yang efektif. Dalam tulisan ini kita akan mendalami unsur-unsur warisan St. Vinsensius tentang doa dan keunggulan doa yang sangat penting bagi karya kerasulan. Di samping itu kita akan melihat peranan doa dalam kehidupan para romo, frater dan suster seperti yang ditampakan Vinsensius dengan memupuk sikap-sikap, baik dalam hidup komunitas maupun dalam melakukan karya pelayanan. Bersma itu pula akan didalami kebiasaan St. Vinsensius dalam memberikan latihan praktis berdoa.

Kita memiliki seperangkat dokumen yang merangkum ajaran St. Vinsensius. Dokumen-dokumen tersebut akan menolong kita memasuki pemikirannya. Kedua dokumen itu ialah peraturan-peraturan bagi kedua serikatnya yang diterbitkan masing-masing tahun 1658 (untuk CM) dan tahun 1672 (untuk PK).[2] Peraturan-peraturan tersebut mengungkapkan pangalaman-pengalaman orang-orang yang dibimbingnya selama beberapa puluh tahun. Vinsensius mendesak mereka supaya mengarahkan diri kepada Yesus, yang “telah sejak semula penuh rahmat dan kebijaksanaan” sebelum memulai karya pelayanannya di depan umum. Piere Coste, penulis riwayat hidup St. Vinsensius, mengatakan bahwa Vinsensius “tidak memisahkan kesucian pribadi dari karya-karya karitatif, sebab dalam kesucian itu terdapat kondisi jiwa dan penyerahan diri yang diperlukan” (C, I, 271). Karena itu dalam peraturan bagi Romo CM, Vinsensius menggambarkan Yesus sebagai Dia yanag mulai bekerja (dengan mendalami keutamaan) sebelum mengajar (CR, I). Puteri Kasih diarahkannya agar meneladani Yesus sebagai “model yang begitu sempurna”. Mereka dibina untuk “berjuang agar hidup serta bekerja sungguh-sungguh demi mencapai kesempurnaan; menyatukan latihan-latihan kehidupan rohani dengan karya cinta kasih Kristiani kepada orang-orang miskin, menurut peraturan sekarang ini. Mereka akan mencoba mematuhi peraturan ini dengan kesetiaan besar sebagai sarana yang paling menjamin pencapaian tujuan tersebut” (R, I).[3]

Seperti biasanya, Vinsensius mengungkapkan doa lewat gambaran-gambaran yang hidup. Dalam salah satu gambarannya ia mengatakan bahwa meditasi itu:

Memusatkan pikiran kepada Allah, mengosongkan diri untuk mencari Allah dalam dirinya. Meditasi adalah percakapan antara jiwa dengan Allah, sebagai suatu hubungan rohani tempat Allah mengajarkan apa yang harus diketahui dan diperbuat jiwa. Dalam meditasi itu pula, jiwa menyampaikan permohonan kepada Allah seperti yang diajarkanNya. Meditasi itu suatu kesempurnaan agung. Hendaknya hal ini membuat kita lebih menghargai dan mencintainya daripada hal-hal lain (D, 373).

Pada kesempatan lain, ia mengingatkan pula para romo CM bahwa doa merupakan suatu anugerah, yang manfaat utamanya “melawan hawa nafsu atau kecenderungan-kecenderungan buruk yang mencengkeram kita”. Dari sini, seorang maju “dengan tenang tanpa memusingkan diri pada aplikasi dan keinginan akan pemikiran yang terlalu mendetail, melainkan mengangkat jiwa kepada Allah dan mendengarkan Dia. Sepatah-kata dari Allah jauh lebih berarti daripada seribu penalaran serta spekulasi pengertian kita” (M, 49).

Bagi Vinsensius, doa – yang melampaui segalanya itu – merupakan inti sari, penuntun dan daya hidup spiritualitas. “Dibandingkan dengan udara yang sangat penting bagi hidup jasmani kita, doa jauh lebih penting bagi hidup kita,” katanya kepada para suster Puteri Kasih. Seperti orang akan mati jika tidak menghirup udara, “tidak mungkin seorang Puteri Kasih hidup tanpa doa” (D, 1145). “Sebagaimana tubuh tidak dapat hidup tanpa jiwa, demikian juga jiwa tidak dapat hidup tanpa doa” (D, 1147). Doa itu terus menghidupi dan memberi kesegaran. Doa itu “manna sehari-hari yang turun dari surga” guna memberi kesegaran (D, 358). Jiwa tanpa doa ibarat tumbuhan dalam taman yang layu di musim kemarau. Di lain pihak, kebiasaan doa setiap hari itu seperti “setetes embun yang menyegarkan jiwamu setiap pagai dengan rahmat Allah … suatu kesegaran yang senantiasa memberikan gairah kepadamu dalam segala perbuatanmu … Bagaikan seorang pengurus kebun melihat tanam-tanamannya bertumbuh bila diairi dengan baik, seorang Puteri Kasih akan bertumbuh dalam kesucian hari demi hari bila ia menyegarkan dirinya dengan ‘embun suci’ tersebut” (D, 538-59).

Penyegaran ini selanjutnya mengarah kepada pengertian yang lebih mendalam. Dalam konferensi ini, Vinsensius menyatakan bahwa doa membarui jiwa “lebih daripada apa yang disebut para filsuf sebagai ‘sumber kesegaran’. Dalam doa, jiwa yang layu karena kebiasaan-kebiasaan buruk, tumbuh penuh semangat; ia mendapatkan kembali pandangan yang hilang karena buta; telinga yang dulu tuli terhadap suara Tuhan kini terbuka akan ilham-ilham kudus, dan hati menerima kekuatan baru serta dijiwai dengan keberanian yang belum pernah dialami sebelumnya” (D, 372). Doa itu cermin bagi jiwa untuk melihat “apa yang menyenangkan Allah. Jiwa menempatkan dirinya agar sejalan dengan Allah dalam segala hal. Sebenarnya, Tuhan “membiarkan kita mengetahui apa yang seharusnya kita kerjakan atau kita hindari lewat doa kita … . Tidak ada perbuatan dalam hidup ini membuat diri kita lebih baik, atau menunjukan dengan lebih jelas kehendak Allah itu selain doa” (D, 371-72). Demikianlah suster tersebut akan berdandankan jubah cinta kasih.

Suster ini telah memberikan cara yang tidak mungkin keliru untuk mengasihi Tuhan. Cara itu ialah berhadapan di hadapan Allah, dan itu benar, yang indah dan Allah dengan senang hati akan memandanginya (D, 1147-48).

Menurut pengertian St. Vinsensius, doa dan kegiatan pelayanan itu sedemikian utuh sehingga melalui hubungan timbal-balik di antara keduanya, doa dan karya kerasulan terpelihara. Ia menetapkan saat berdoa berdasarkan urutan sebagai kegiatan yang penting dan dilaksanakan secara bersama-sama. Bagi para romo CM, ia menentukan satu jam, masing-masing pada pagi hari dan menjelang malam (R, IX, ii dan iii). Santo Vinsensius menghargai permulaan dengan bangun pagi seketika, “dengan rajin, kemudian segera mulai bercakap-cakap dengan Allah … . Jangan mulai berdebat dengan kasurmu, dengan berguling di atas kasurmu, dengan berguling di atas kasur untuk mempertimbangkan apakan harus bangun…” (D, 1128-29). Untuk mengarahkan diri pada doa sepanjang hari itu, St. Vinsensius mendesak masing-masing supaya memusatkan perhatiannya kepada Allah melalui suatu doa persembahan kepada Allah sebagai awal kegiatannya. Katanya, “apakah yang terjadi dengan seorang suster yang sejak dini hari bekerja tanpa memikirkan hal-hal lain kecuali kesibukan pekerjaannya dan tanpa memikirkan Allah?” (D, 324). “Kita memberikan kepada Allah segala pikiran, perbuatan, dan segala yang ada pada diri kita … . Bahkan cukuplah jika kalian katakan , ‘ya Allah, aku mengasihiMu dengan seganap hatiku’. Sekiranya kalian melakukan itu, kalian memberikan kepada Allah buah-buah awal pikiranmu. Dan inilah yang Dia kehendaki darimu” (D, 157).

Pasti akan muncul pertanyaan mengenai konflik antara doa dan perbuatan. Tuntutan karya kerasulan bagi para romo CM dan suster PK sedemikian rupa sehingga kadang-kadang mereka tidak jadi berdoa atau melakukan latihan-latihan rohani lainnya hanya untuk memberi perhatian pada kebutuhan mendesak mereka yang sangat memerlukan. Dalam peristiwa-peristiwa semacam itu, St. Vinsensius memberi ijin menunda kesempatan berdoa. Hal ini bukanlah suatu pertentangan, melainkan suatu tanggapan terhadap kebutuhan mendesak orang-orang yang sakit dan miskin yang menuntut suatu prioritas. Dia mengatakan, “jika ada alasan yang dapat diterima” untuk menangguhkan doa, “inilah pelayanan untuk orang miskin” (D, 284). Atau, jika seorang suster tidak dapat berdoa pada tempat biasanya karena pergi mengunjungi orang-orang sakit, ia bisa berdoa sementara lewat ladang-ladang. Dan, jika di desa itu ia tidak menemukan tempat meditasi, atau lebih buruk lagi jika ia tidak dapat membaca, “renungkanlah misteri Tuhan kita … dan segala peristiwa lain sejak lahir sampai wafatNya”, tukas St. Vinsensius (D, 1136).[4]

Mengahadapi ketegangan antara memilih doa dan perbuatan, Santo ini memberikan jalan keluar dalam salah satu ungkapannya yang terkenal: “Meninggalkan Allah untuk Allah”. Pada saat seperti ini, doa dan pelayanan lebur menjadi satu: Kita mengalami Allah yang sama, baik dalam perbuatan seperti itu maupun dalam doa-doa resmi. “Oleh karena cinta kasih adalah ratu segala keutamaan, hal-hal lain harus memberikan tempat baginya”, tulis St. Vinsensius kepada seorang suster pimpinan (V, 247). Dalam konferensi lain ia mengatakan, “puteri-puteriku, ingatlah bahwa bila kalian meninggalkan doa dan misa kudus untuk melayani kaum miskin, kalian tidak kehilangan apa-apa, sebab melayani kaum miskin itu berarti pergi menghadap Allah. Karena itu hendaklah kalian bertemu denganNya dalam diri mereka” (D, 4). Ia juga tidak lepas dari pemikiran ini:

Jangalah kalian menyembunyikan dirimu. Juga jangan mengira telah gagal menaati peraturan jika kalian meninggalkan doa. Doa itu tidak berlalu begitu saja bila ditinggalkan untuk alasan yang masuk akal. Inilah pelayanan bagi para miskin. Meninggalkan Tuhan hanya demi Tuhan, artinya, meninggalkan satu pekerjaan untuk melakukan pekerjaan lain, entah dengan kewajiban atau jasa yang lebih besar, bukanlah meninggalkan Tuhan … sungguh suatu penghiburan besar bila seorang Puteri Kasih berpikir, ‘aku akan menolong orang miskin, maka Tuhan akan menerimanya sebagai ganti doa yang seharusnya kupanjatkan’. Biarlah ia pergi dengan gembira ke tempat Tuhan memanggilnya.[5]

Dalam kesempatan apa pun orang tidak bisa meninggalkan doa. Meninggalkan doa dapat dilakukan sejauh “keadaan mendesak, atau kalau ketaatan menghendaki sebaliknya” (CR, X, 1; R, VIII, 1). Kita harus juga menggunakan penilaian dan pemahaman. Santo kita ini melihat adanya nilai bila seorang hadir pada waktu kegiatan-kegiatan rohani, terutama saat doa. Kepada seorang frater yang mengaku sering kali meninggalkan kegiatan-kegiatan rohani, St. Vinsensius mengatakan, “lain kali jangan lagi tidak mengikuti kegiatan-kegiatan rohani komunitas. Yakinlah frater, Anda tidak akan kehilangan apa-apa. Allah akan menyediakan waktu yang telah Anda gunakan untuk melayani Dia dengan tinggal di sini” (M, 196). Santo Vinsensius sangat menyadari resiko kelalaian. Tentang hal itu ia memberi nasihat kepada seorang pimpinan yang baru terpilih:

Hendaknya Romo menghadap Tuhan sambil berdoa agar Romo dapat menjaga rasa takut dan cinta akan Tuhan dalam hati Romo. Saya harus berkata kepada Romo dan Romo sendiri harus tahu, bahwa sering ada orang yang mengalami kebinasaan abadi, sementara orang lain dibantunya untuk memperoleh keselamatan. Ada orang yang berjalan baik bila mengurus dirinya sendiri; tetapi bila terlibat dalam karya orang lain, segera melupakan dirinya sendiri (M, 213).

Orang demikian jelas tidak dapat disebut sebagai misionaris. Dan, St. Vinsensius bertanya, “apakah ia, yang melalaikan meditasi dan cara-cara rohani yang ditetapkan peraturan, dapat disebut sebagai misionaris? Tidak! Sebab ia tidak memenuhi syarat utama yaitu kesempurnaan dirinya. Sangat bijaksanalah bila seorang misionaris berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan Allah, karena dia mendapat panggilan yang tidak ada duanya, yaitu mengabdi kepada Tuhan seperti yang dilakukan dalam CM. Di samping itu dia telah menerima pula rahmat untuk menjawab panggilan itu berkat kebaikan Allah”(M, 394).[6]

Setelah menekankan kepentingan doa, Vinsensius memberikan metode untuk memudahkan latihan sehari-hari. Metode praktis yang diberikan itu ia peroleh dari pembimbing rohani, penasihat dan sahabat karibnya, St. Fransiskus de Sales. Pengaruh de Sales telah menyala dalam diri Vinsensius meskipun ia wafat pada awal karier Vinsensius.

Asal dan metode tersebut sudah dikenal banyak orang. Karena itu St. Vinsensius enggan untuk mengatakannya. Namun ternyata ia menyampaikannya dalam suatu konferensi tentang ‘doa’ kepada suster-suster Puteri Kasih, “kalian sudah mengetahui bagaimana menggunakan metode ini, sebab kalian telah sering mendengarnya, bahkan mempelajarinya di luar kepala. Barangkali tidak ada gunanya bagiku menyampaikan kepadamu metode Fransiskus de Sales ini. Meski demikian saya akan menyampaikannya, karena itulah yang termudah” (D, 1148). Sebenarnya banyak konferensi rohani St. Vinsensius kepada CM dan PK yang membahas metode tersebut. St. Vinsensius juga menyinggung motif dan cara mempraktekan keutamaan, menaati peraturan dan bagaimana hidup seturut semangat apostolik. Ia memberikan niat-niat yang mungkin dapat dilaksanakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas.[7]

Maksud-maksud pribadi hendaknya tidak mempengaruhi maksud utama dari doa, yaitu mengikat jiwa kepada Allah “untuk menunjukan cinta kita kepadaNya” dan membiarkan Dia berbicara kepada kita “dari hati ke hati” (D, 1148). Dengan bangga St. Vinsensius mengutip kata-kata Uskup Jenewa, “ah, saya tidak akan pergi kepada Allah jika Ia tidak datang kepadaku”! (M, 141). Untuk memudahkan komunikasi dengan Tuhan, Vinsensius menyarankan penggunaan teknik-teknik secara benar. Misalnya, mengapa orang mengalami kesulitan pada permulaan doanya? Ini disebabkan karena ia kurang memiliki “perhatian terhadap persiapan sebelum berdoa” (D, 278). Mungkin juga karena kurang menjaga keheningan dan silentium. “Sabda Allah tidak dapat meresap dalam diri orang yang banyak bicara dan gaduh” (D, 715). Contoh lain ada orang yang hanya menuruti keinginan hatinya dengan angan-angan intelektual saja sehingga niat-niatnya tidak terlaksana. Santo Vinsensius menjawab dengan satu metafora. “Mengapa kita menyalakan api yang sudah menyala”? (M, 160). Ketika seorang romo mengatakan bahwa “ia secara khusus membaktikan dirinya melalui sikap-sikap afektif”, Vinsensius menjawab:

Itulah yang hendaknya kita lakukan selama meditasi. Artinya, hendaknya kita menggunakan sedikit waktu untuk merenungkan alasan-alasannya. Lebih baik kalau waktu meditasi kita gunakan untuk mengungkapkan kasih kita kepada Allah, untuk merendahkan diri dan untuk menyesali dosa, dan sebagainya. Mengapa kita terus sibuk mencari alasan yang meyakinkan, padahal kita sudah yakin mengenai bahan meditasi (M, 244-45)?

Menurut Vinsensius meditasi dapat mengarah pada kontemplasi. Ia berkata bahwa dalam kontemplasi:

Jiwa berdiam diri di hadapan Allah. Ia hanya menerima apa yang dianugerahkan Allah. Jiwa tidak berbuat apa-apa; Tuhan sendirilah yang memberikan inspirasi kepadanya meskipun jiwa tidak melakukan apa-apa. Para suster terkasih, penahkah kalian mengalami doa semacam in? Saya yakin bahwa dalam ret-ret selama ini kalian sering terpukau sebab Tuhan memenuhi jiwamu, sementara dari pihakmu tidak dituntut untuk berbuat sesuatu; kalian terpukau karena Tuhan menganugerahkan pengetahuan yang belum pernah kalian peroleh sebelumnya (D, 374).

Menurut St. Vinsensius, doa tidak dapat dikatakan selesai sebelum menghasilkan niat-niat. Kepada para suster ia berkata, “melakukan doa tanpa menghasilkan niat-niat … tidak dapat disebut berdoa” (D, 1134). Meskipun demikian niat-niat tersebut tidak akan berarti jika kita tidak mempunyai saran untuk menerapkannya:

Bila kalian berniat menghindari sifat-sifat buruk atau berniat melakukan keutamaan, hendaknya kalian berkata dalam hati, “baiklah! Saya berniat melakukan ini dan itu meskipun sulit bagiku untuk melakukannya. Dapatkah aku melakukan itu hanya dengan kekuatanku sendiri? Tidak. Hanya dengan bantuan rahmat Allah saya berharap setia. Karena itu, baiklah kiranya saya menggunakan sarana ini (D, 1134-35).

Ketika St. Luisa hendak memulai retret, Vinsensius mengatakan agar perlu membatasi niat-niat. Kepada St. Luisa ia menulis, “hendaknya Anda tidak terlalu banyak membuat niat-niat praktis tetapi bertekun melaksanakan niat-niat tersebut dalam tindakan dan tugas sehari-hari” (V, 86). Niat-niat yang dibuat hendaknya sesuai dengan kenyataan agar berarti. Ia menyinggung juga niat-niat praktis dalam suratnya kepada St. Luisa:

Kepada Anda saya kirimkan kembali niat-niat baik Madame N.; niat-niat itu akan menjadi lebih baik lagi seandainya lebih konkret. Mintalah supaya orang-orang yang mengikuti retret bersama Anda melakukan hal ini. Kalau kita mempertimbangkan kemudahan-kemudahan dalam melakukan keutamaan, berarti kita hanya mencari kesenangan diri kita. Untuk mencapai keutamaan sejati, hendaklah kita secara bijaksana membuat niat-niat praktis dalam tindakan-tindakan nyata dan tetap setia melaksanakannya. Tanpa itu, keutamaan kita hanyalah angan-angan belaka (V, 111).

Niat-niat dibuat bukan untuk satu hari saja tetapi untuk mendukung ketetapan hati. Dalam suatu konferensi bertemakan ‘kesetiaan di tengah percobaan’, Vinsensius bertanya kepada seorang suster mengenai sarana yang tepat untuk melawan godaan. Suster itu menjawab, “membaca kembali niat-niat kita yang telah kita buat selama retret”. Dengan penuh kegembiraan St. Vinsensius menanggapi:

Oh, puteri-puteriku, inilah saran yang jitu! Itulah pikiran Allah yang sampai kepada kita sewaktu kita berhubungan denganNya secara mesra. Inilah bekal yang Ia berikan kepada kita waktu kita membutuhkan. Oleh sebab itu baiklah kiranya kalau kita menyimpan bekal itu bersama-sama agar dapat kita gunakan pada waktu membutuhkannya … . Pasti kalian tahu bahwa dengan sarana ini kalian dapat melanjutkan kembali apa yang telah kalian mulai (D, 319).

Sehubungan dengan metode doa dan kepentingan niat-niat praktis, St. Vinsensius memberi praktek ketiga untuk memupuk semangat doa kedua serikatnya. Praktek ketiga ini dikenal dengan istilah ‘sharing’. Ia melukiskan sharing sebagai “salah satu sarana terpenting untuk saling menguatkan devosi kita” (M, 436). Sharing ini merupakan suatu pengungkapan pikiran yang dialami seseorang selama berdoa. Sharing ini dilakukan oleh beberapa anggota komunitas setempat yang berkumpul dalam suatu konferensi rohani. Mereka yang hendak mengungkapkan pikirannya ditunjuk secara acak. Berdasarkan teori, praktek ini bukan melulu pengungkapan ide-ide tetapi suatu uraian mengenai dorongan Roh Kudus dalam doa pribadi. Praktek ini merupakan bagian integral dari konferensi St. Vinsensius yang ia sampaikan secara ajeg. Praktek ini juga dasampaikan oleh superior setempat yang memimpin konferensi. Dalam melakukan ini, pertama-tama Santo kita memanggil beberapa suster (atau romo atau frater) untuk menceritakan apa yang timbul dalam pikiran mereka ketika merenungkan bahan meditasi. Praktek semacam ini kadang-kadang menimbulkan suatu dialog yang mempertajam dan memperjelas suatu tema. Pengalaman tiap-tiap orang dalam hal ini dapat menjadi katekese bahwa ternyata ada begitu banyak cara untuk berdoa dan membuka diri terhadap tindakan Roh Kudus.

Santo Vinsensius dengan senang hati mendengar pemikiran apa saja yang diutarakan tiap-tiap orang meski sederhana sekalipun. Vinsensius menyatakan bahwa ada cukup banyak orang yang mengungkapkannya,

dengan cukup sederhana terang yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, sesuai dengan karunia masing-masing … Jika seseorang tidak sanggup mengungkapkan hasil meditasi karena tidak mendapat ide-ide selama doanya, baiklah, lain waktu mohonlah kepada Tuhan supaya ia menganugerahkan kepadanya apa yang pantas untuk diungkapkan (M, 390).

Santo Vinsensius kerap bersyukur kepada Tuhan, “oh, suster! Anda benar. Ya Penyelamatku, terpujilah Engkau karena Engkau telah menyampaikan pikiran demikian kepada suster kami” (D, 655). “Puteriku, bukan engkau yang mengatakan, tetapi Roh Kuduslah yang menaruh kata-kata itu dalam mulutmu” (D, 692).

Kini sampailah kita pada puncak pembahasan mengenai St. Vinsensius dan doa. Ada dua ucapan Vinsensius yang pantas kita kutip. Keduanya disampaikan masing-masing kepada romo-romo CM dan suster PK. “Mereka yang berdoa dengan baik dapat diketahui bukan dari cara menyampaikan doa-doanya, tetapi dari tindakan dan sikap-sikapnya; sebab tindakan dan sikap mereka menunjukan buah-buah doa yang mereka peroleh …” (V, 77). Dan, “hendaknya kalian membawa dua jenis makanan kepada para miskin, yaitu makanan untuk tubuh dan makanan untuk jiwa. Artinya, hendaknya kalian menyampaikan beberapa patah kata saja, yaitu buah-buah meditasimu …” (D, 527). Kata-kata di atas menunjukan pandangan integral St. Vinsensius tentang doa dan pelayanan. Doa merupakan prasyarat untuk hidup dalam komunitas maupun dalam karya kerasulan. Pada bagian akhir tulisan ini kita akan mendalami apakah yang disebut sebagai buah-buah doa.

Buah-buah doa adalah sikap-sikap khas yang menjadi tanda dari putera-puteri St. Vinsensius. Banyaknya tidak terhitung, namun untuk alasan praktis; kami membatasi diri pada empat buah: Hidup rohani, berjalan di hadapan Allah, nasihat-nasihat Yesus Kristus, dan Penyelenggaraan Ilahi.

Hidup Rohani

Di akhir kedua konferensinya mengenai keutamaan-keutamaan St. Luisa (yang disampaikan sesudah wafat St. Luisa), St. Vinsensius menanyakan kepada para suster sejauh mana mereka memahami keutamaan-keutamaan St. Luisa. Seorang suster menjawab: “Ia memiliki hidup rohani yang baik dan Allah memenuhi seluruh pikirannya.” Santo Vinsensius puas dengan jawaban itu. Katanya:

Ya, jiwanya selalu terarah kepada Allah. Hal ini karena ia telah cukup lama membina suatu devosi mendalam di dalam dirinya. Hidup rohani tercapai dengan cara melepaskan diri dari keterikatan pada dunia, orang tua, negara dan hal-hal duniawi lain … Para Suster, seorang suster yang memberikan dirinya hanya kepada Tuhan, dia itulah yang memiliki hidup rohani. Karena apakah artinya hidup rohani bila bukan membiarkan Allah memenuhi seluruh diri kita? (D, 1263-64).

Santo Vinsensius terus mendorong para romo CM “supaya memiliki hidup rohani yang baik untuk membangun kerajaan Yesus Kristus dalam diri kita” (M, 310). Jadi “hidup rohani” dapat disamakan dengan pangabdian diri sepenuhnya kepada karya Allah. Hal itu menjadi jelas ketika ia mengajak, “marilah berusaha memiliki hidup rohani untuk menghayati semangat mengabdi Allah secara luhur dan kudus … Bukan kita yang memiliki diri ini melainkan Dialah yang memilikinya. Jika Ia memberikan kepada kita lebih banyak pekerjaan, Ia juga akan menguatkan kita” (M, 402). Ia menegaskan hal ini dalam suatu konferensi yang menyinggung keluhan tentang terlalu banyak pekerjaan yang diemban Kongregasi Misi. Pada kesempatan sebelumnya, sambil menceriterakan kepada romo dua suster yang wafat di Calais karena merawat para serdadu yang terluka, St. Vinsensius menandaskan, “pada hari penghakiman, kedua suster itu akan menjadi hakim kita seandainya kita tidak bersiap diri mengurbankan hidup kita demi Tuhan, seperti yang telah mereka perbuat. Percayalah, ia yang belum mencapai tahap ini, masih jauh dari kesempurnaan” (M, 291-92).

Kebiasaan Menghayati Kehadiran Allah

Kesadaran bahwa kita berjalan di hadapan Allah itu juga dapat memupuk hidup rohani. Dari pengalaman seorang suster yang diungkapkan dalam suatu sharing, St. Vinsensius mengatakan: “Semakin sering kita bertemu dengan orang baik, semakin besarlah cinta kita kepada orang tersebut. Nah, jika Allah senantiasa ada di depan kita – sebab Dialah kebaikan dan kesempurnaan – tentu semakin besarlah cinta kita kepadaNya, karena sering berhadapan denganNya” (D, 420).

Kebiasaan menghayati kehadiran Allah terus-menerus itu dapat digunakan sebagai cara untuk tetap sadar. Karena itu St. Vinsensius mencantumkannya dalam Peraturan dan kebiasaan-kebiasaan kedua komunitas. Oleh karena itu usaha agar pikiran kita yang pertama saat bangun pagi terarah kepada Allah dan kebiasaan mempersembahkan kepada Allah seluruh kegiatan kita sejak pagi itu memberi arah dan dasar seluruh hari. Langkah pertama bermeditasi ialah menempatkan diri secara sadar di hadapan Allah untuk membangun komunikasi denganNya. Setiap kegiatan rohani kita awali dengan doa kepada Allah. Demikian pula lonceng jam dinding yang berbunyi secara teratur membantu kita untuk menyadari kembali kehadiranNya (lih., CR, X; R, IX).

Nasihat-nasihat Yesus Kristus

“Nasihat-nasihat Yesus Kristus” merupakan pusat pemikiran Vinsensius. Hal ini tampak jelas dalam Peraturan Umum Kongregasi Misi dan Puteri Kasih (CR, II; R, I, V).[8] Nasihat-nasihat itu menunjuk pada nilai-nilai yang diperjuangkan Yesus Kristus, sekaligus yang dituntutNya dari para pengikutNya. St. Vinsensius menyebutnya dengan istilah “Mengenakan Semangat Yesus Kristus dalam diri kita” (4, 411).

Untuk melaksanakan nasihat-nasihat Yesus Kristus, St. Vinsensius memberi kita sarana. Yang pertama ialah membaca Injil “dengan penuh perhatian dan ketulusan”, terutama baba kelima, keenam, ketujuh dan kesepuluh dari Injil Matius (M, 427). Harus diingat bahwa setiap nasihat Tuhan merupakan bahan yang cocok untuk doa-doa pribadi. Ia mengingatkan bahwa sarana paling efektif ialah mengenang kembali bahwa sejak awal Kongregasi Misi mempunyai keinginan untuk mengikuti Tuhan secara penuh dengan mengikuti apa yang dikerjakanNya sendiri melalui ketaatanNya kepada nasihat-nasihatNya. Kita melakukan ini untuk menggembirakan Allah Bapa seperti Yesus menyenangkan BapaNya. Di samping itu kita ingin berguna bagi Gereja Yesus dengan terus-menerus berjuang untuk maju dan menyempurnakan diri di dalamnya … (M, 427).

Akhirnya, St. Vinsensius merangkum nasihat-nasihat Yesus Kristus dalam keutamaan-keutamaan yang menjadi ciri khas kedua serikatnya. Bagi CM, keutamaan-keutamaan itu meliputi kesederhanaan, kerendahan hati, kelembutan hati, matiraga dan semangat untuk penyelamatan jiwa-jiwa. Kelimanya ia gambarkan sebagai “kelima batu Daud yang akan mengalahkan Goliat dengan sekali lemparan dalam nama Allah” (CR, XII, 12). Sedangkan untuk PK, keutamaan mereka ialah kerendahan hati, kesederhanaan dan cinta kasih. Dia mendorong mereka untuk melaksanakan seluruh kegiatan rohani, sambil menggabungkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Yesus sendiri selagi masih hidup di dunia (R, I, iv).

Penyelenggaraan Ilahi

Tidaklah terlalu membesar-besarkan kiranya bila dikatakan bahwa gagasan tentang Penyelenggaraan Ilahi memenuhi pikiran St. Vinsensius dan merupakan bagian integral percakapannya sehari-hari. Karena dirasa penting, ia memasukan gagasan tersebut dalam Peraturan kedua serikatnya. Misalnya, para suster PK didorong untuk “memiliki penyerahan diri seutuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi, menyerahkan diri tanpa syarat, seperti seorang bayi kepada pengasuhnya … (R, I, viii; lihat pula, CR, II, 2-3). “Puteri-puteriku,” katanya, “sebenarnya saya tidak tahu apa artinya seorang Puteri Kasih yang tidak memiliki keyakinan pada Penyelenggaraan Ilahi” (D, 1076). Kepada para romo CM ia berpesan, “melakukan kehendak Allah adalah jiwa serikat kita dan merupakan salah satu kebiasaan yang paling perlu kita cintai” (M, 338).

Dari Kitab Suci Santo kita ini memperoleh pandangan itu. Pandangannya itu menggerakan dirinya untuk senantiasa percaya kepada Tuhan:

Kita tahu bahwa Tuhan itu baik. Ia mengasihi kita dengan penuh kelembutan. Ia menghendaki kesempurnaan dan keselamatan kita. Ia memikirkan jiwa dan tubuh kita. Ia bermaksud memberikan kepada kita apa yang kita cari sewaktu kita membutuhkan … Jika Ia memimpinmu melalui jalan-jalan keras seperti salib, penyakit, kesedihan, penyangkalan diri, biarlah Ia melakukannya. Marilah kita menyerahkan diri dengan sikap lepas bebas kepada Penyelenggaraan IlahiNya. Marilah menyerahkan penderitaan-penderitaan itu kepada Tuhan; Ia mengenal cara mendapatkan kemuliaan lewat penderitaan-penderitaan dan menggerakan segalanya serentak demi kebaikan kita, sebab Ia mengasihi kita lebih daripada bapak mana pun mengasihi anaknya (D, 1074).

Meskipun sederhana, kata “Penyelenggaraan Ilahi” mengandung banyak unsur. Pengertian ini merangkum banyak keutamaan: Ketaatan, sikap pasrah, dan pengharapan, kesiap-sediaan dan suka cita. Itu hanya sebagian kecil. Sekaligus St. Vinsensius menghubungkan praktek ketaatan dengan “Penyelenggaraan Allah yang Mahasuci”. Bila seorang suster dirasakan penting untuk dipindah dari satu rumah ke rumah lain, hendaknya ia menanggapinya penuh ketaatan “karena penyelenggaraan Ilahi telah mengaturnya sedemikian rupa … Percayalah bahwa Penyelenggaraan Ilahi memelihara hidupmu”. Santo Vinsensius juga menyerukan: “Hendaknya kalian memiliki devosi sedemikan besar kepada Penyelenggaraan Ilahi, sebesar keyakinan dan kasih yang ada di dalamnya. Seandainya Penyelenggaraan Ilahi belum memberikan nama Puteri Kasih kepadamu, hendaknya kalian menamakan diri Puteri Penyelenggaraan Ilahi, karena olehNya kalian ada” (D, 67).

Jika kia merangkum ajaran St. Vinsensius mengenai Penyelenggaraan Ilahi, kita dapat merumuskan dalam dua kata: Keberhasilan dalam karya dan kelangsungan hidup baik pribadi maupun bersama. Namun, tidak seorang pun dapat menjamin keberhasilan karya kerasulan apalagi menjamin ketekunannya sampai akhir. Tidak seorang pun mampu menjamin kelangsungan hidup serikat. Tetapi, berkat kepercayaan dan Penyelenggaraan Ilahi, St. Vinsensius berani menjamin bahwa Cinta, Kehendak dan Kebijaksanaan Allah akan menyertai putera-puteri St. Vinsensius sepanjang sejarah bila mereka setia pada tugas perutusan mereka dan bila mereka berguna bagi rencana Ilahi. Pada dasarnya, ada pula kedamaian hati bagi mereka yang menyesuaikan diri dengan Kehendak Allah. “Tidakkah Romo-romo lihat, bagaimanakan mereka yang bersikap lepas bebas dapat berhasil dalam karya mereka? Romo akan menyaksikannya besok, pekan ini, sepanjang tahun bahkan sepanjang hidup mereka. Mereka penuh dengan ketenangan dan semangat serta terus-menerus mengarahkan diri kepada Allah sambil manaburkan buah-buah karya Allah di tengah jiwa-jiwa” (M, 367).

Jalan menuju keberhasilan dalam karya bagi kedua serikat itu, menurut St. Vinsensius, adalah keyakinan teguh dalam melaksanakan Kehendak Allah yang ternyata merupakan “jiwa serikat kita”, seperti yang dituturkannya kepada para romo CM:

Masing-masing sarana kesempurnaan yang mudah, bermutu dan tidak mungkin keliru, sehingga segala tindakan kita bukan lagi tindakan manusia atau malaikat, melainkan tindakan Allah sendiri. Ini karena segalanya kita kerjakan dalam Dia dan melalui Dia. Sungguh suatu kehidupan yang indah! Oh, Romo, sungguh indahlah hidup para misionaris yang demikian! Alangkah baiknya Kongregasi Misi bila cara ini mendasari hidupnya! (M, 338).

Kepada para suster Puteri Kasih ia sampaikan juga harapan serupa:

Oh, terpujilah Allah! Kita dapat berharap bahwa serikat ini bergantung pada Penyelenggaraan Ilahi dan tidak mencampuri bimbingannya … Biarlah dirimu dibimbing Penyelenggaraan Ilahi, meskipun segalanya tampak kurang jelas; dan kalian akan lebih banyak mengharapkan penyertaan Allah. Allah akan mengubah segalanya demi kebaikanmu (D, 1080).

Kita yang mengenal St. Vinsensius tahu bahwa dia sendiri merupakan figur orang yang bergantung pada Bapanya. Bagi St. Vinsensius, Yesus Kristus adalah model utama yang senantiasa bersama BapaNya. Bapa itulah yang membimbingNya menurut KehendakNya. Bapa mengenakan pada Yesus kemuliaan yang agung. Dengan doanya, St. Vinsensius mengarahkan putera-puterinya yang masih menempuh perjalanan ini. Ia memohon agar Tuhan Yesus “menganugerahkan rahmatNya kepada kita dalam segala situasi agar kita selalu berada dalam bimbingan Allah yang menuntun kita di hadapanTakhta IlahiNya” (M, 368).

Meskipun menangani banyak karya, St. Vinsensius tetap manusia pendoa. Dia juga mampu melakukan “segalanya”, seperti dalam ungkapannya. Tulisan ini menyinggung ucapan-ucapan St. Vinsensius tentang doa dan buah-buahnya; namun, sedikit sekali menyinggung hidup doanya. Hal ini terutama karena St. Vinsensius segan menceritakan hidup rohaninya, sehingga kita hanya menangkap apa yang dikatakannya selain tulisan-tulisan, baik konferensi maupun surat-suratnya. Kita tidak perlu meragukan hidup rohaninya meskipun ia segan menceritakannya (V, 271) karena ia terkenal setia dengan praktek-praktek tersebut sambil memanfaatkan segala bantuan untuk memupuk hidup doa.

Perhatian utama kita di sini ialah mencari garis besar pandangan St. Vinsensius tentang doa serta hubungannya dengan karya kerasulan. Ia tidak pernah melepaskan pandangan ini: Jika karya kerasulan tidak dijiwai oleh doa, pelayanan itu tidak berarti, bahkan hanya kepura-puraan. Supaya karya kerasulan itu benar-benar menjadi suatu pewartaan dan pelayanan kepada Yesus, hendaknya kita mengenalNya terlebih dahulu, terutama lewat doa. Baru sesudah itu kita dapat berharap meneladani, merenungkan dan berjumpa denganNya di tempat kita masing-masing, terutama dalam diri para miskin, lalu menjadikan Yesus sebagai nilai yang paling dominan dalam hidup kita.

Dalam hidup St. Vinsensius, Yesus Kristus merupakan nilai tertinggi. Dialah pembimbing St. Vinsensius yang menangani banyak karya kerasulan. Sebagai penutup, marilah melihat peristiwa akhir hidup St. Vinsensius yang juga berkenaan dengan doa dan karya pelayanan. Sebelum meninggal, St. Vinsensius mencoba mengulangi dan mengungkapkan doa yang disampaikan sahabat-sahabatnya. St. Vinsensius mengucapkan kata yang ternyata mengandung seluruh pandangan dan sekaligus pusat hidup dan karyanya. Kata itu ialah Yesus (C, III, 397).


*Diterjemahkan dari: “St. Vincent’s Legacy: Prayer, The Soul of Ministry”, dlm., Vincentian Heritage, 1981, Vol. II, p. 3-32; oleh Rafael Isharianto, CM.

[1]Kutipan-kutipan sumber berasal dari teks-teks terjemahan dalam bahasa Inggris, antara lain: Piere Coste, CM., The Life And Works of St. Vincent de Paul, 3 vols., terj. Joseph Leonard, CM., The Newman Press, Westminster, 1952 (C, I, II, III); Conferences of St. Vincent de Paul (to the Congregation of the Mission), terj. Joseph Leonard, CM., Philadephia, 1963 (M); Joseph Leonard, CM., (terj.), The Conferences of St. Vincent de Paul to the Daughters of Charity, edisi intern, 1979 (D); Joseph Leonard, CM., (terj.), St. Vincent de Paul And Mental Prayer: A Selection of Letters and Addresses, Burn & Oates and Washbourne, London, 1952 (V); Common Rules and Constitution of the Congregation of the Mission (CR): Rules of Daughters of Charity, Servants of the Sick Poor (R).

[2]Dua belas tahun sejak Vinsensius wafat, tidak ditemukan peraturan bagi PK. Namun, PK telah memiliki peraturan-peraturan sederhana sejak tahun 1633 yang masih sangat sederhana. Peraturan ini lambat-laun disempurnakan menjadi suatu yang tetap, meskipun belum ditulis untuk digunakan secara meluas. Vinsensius menggunakan formulasi ini dalam konferensi-konferensinya bertemakan Peraturan sejak 29 September 1655 dan berakhir pada 25 November 1659. Keterangan lebih lanjut tentang perkembangan peraturan bagi PK, lih., Coste, I, 369-372.

[3]Perhatian serupa diberikan kepada Perkumpulan Cinta Kasih yang sudah sejak semula dilatih “berjuang mencapai kesempurnaan Kristiani dan kesempurnaan yang sesuai dengan keadaan mereka: Mereka hendaknya bermeditasi sedikitnya setengah jam, mengikuti misa kudus, membaca buku Introducton à la vie dévote (Pengantar menuju Kesalehan Hidup) atau Traité de l’amour de Dieu (Uraian Tentang Cinta Allah); mereka hendaknya mengadakan pemeriksaan batin setiap hari secara umum, mengaku dosa dan menerima komuni suci sedikitnya seminggu sekali”. Kutipan dalam C, I, 271.

[4]Banyaknya suster yang buta huruf menjadi masalah yang harus ditangani St. Vinsensius. Berkenan dengan hal itu ia menasihatkan, “akan sangat baik bila suster tersebut memiliki beberapa gambar kecil tentang misteri hidup Tuhan kita. Saya mohon Mlle. Le Gras mengatur supaya para suster yang tinggal jauh dari sini dapat memiliki gambar-gambar tersebut jika mungkin. Bila kalian pergi berdoa, biarlah mereka yang tidak dapat membaca mengambil bahan-bahan kecil dari gambar-gambar kecil itu … . Para suster, seandainya kalian tahu betapa banyak orang suci memperoleh rahmat tanpa belajar! Janganlah kalian kecewa karena tidak dapat membaca. Mungkin mereka yang tahu sedikit, berdoa jauh lebih baik daripada mereka yang tahu banyak” (D, 1136). Lihat: D, 191-92 di mana ia menasihatkan para suster yang tidak dapat membaca agar merenungkan sengsara Tuhan yang “dapat menganugerahkan kesegaran setiap hari”. Dari manakah para kudus mendapatkan pengetahuan? “Saliblah buku kudus dari mereka. Kalian akan maju bila membiasakan diri bergaul dengannya … dan kemudian kalian akan dapat berdoa meskipun tidak dapat membaca”. Lihat juga, D, 28.

[5]D, 284-85; lih., D, 190, 719, 1107; V, 269.

[6]Santo Vinsensius menyampaikan peringatan yang sama kepada para suster, “seorang suster Puteri Kasih akan maju hidup rohaninya, bila ia berdoa secara pantas. Ia tidak akan berjalan, melainkan berlari di jalan Tuhan dan mencapai tingkat kesempunaan cinta Allah. Sebaliknya, seorang suster yang tidak berdoa, atau berdoa tidak secara pantas, hampir tidak akan mengalami kemajuan. Ia mengenakan busana Puteri Kasih namun tidak memiliki semangat seorang Puteri Kasih” (D, 1147).

[7]Kepada Romo Durand, seorang superior di Agde, Vinsensius mengatakan, “bagi seorang pewarta Injil, doa merupakan buku utama” (V, 210). Santo Vinsensius juga mengajarkan kesederhanaan dalam cara berdoa. Ajarannya itu dikenal dengan istilah ‘Metode Kecil’. Lih., M, 161 dan seterusnya, mengenai konferensi bertemakan kotbah. Untuk pembahasan lebih lengkap tentang pembaruan kotbah oleh St. Vinsensius, lih., Coste, II, bab XXXII.

[8]Lih.,. D, 752ff; M, 520ff, dalam konferensi yang membicarakan nasihat-nasihat Yesus Kristus.

Leave a comment